Presiden Prabowo Tekan Kebijakan Baru – Presiden Prabowo Subianto kembali mengguncang publik dengan gebrakan terbarunya: sebuah kebijakan resmi yang mengatur soal cuti kerja khusus di hari Jumat. Kebijakan ini di slot qris umumkan dalam sebuah konferensi pers terbatas di Istana Negara dan langsung menuai reaksi beragam. Banyak yang menyambutnya sebagai bentuk inovasi kepemimpinan yang “berani beda”, namun tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai langkah populis penuh risiko.
Dengan nada tegas, Presiden Prabowo menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendorong produktivitas spiritual dan keseimbangan hidup pekerja. “Hari Jumat bukan hanya hari ibadah, tetapi juga hari refleksi. Negara ini butuh manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohani,” tegas Prabowo di hadapan para jurnalis dan anggota kabinetnya.
Namun, apakah ini benar-benar kebijakan yang lahir dari kepedulian, atau hanya strategi politik menjelang evaluasi tahun pertama pemerintahannya?
Konsekuensinya Presiden Prabowo Tekan Kebijakan Baru
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang baru di teken, karyawan sektor formal baik swasta maupun ASN di beri opsi untuk mengambil cuti satu hari kerja di hari Jumat, dengan catatan penggantiannya di lakukan di hari Sabtu atau lembur dalam minggu yang sama. Aturan ini bersifat fleksibel, namun mengikat secara administratif.
Tidak hanya itu, instansi pemerintah di wajibkan menyediakan sistem pelaporan dan rotasi kerja agar pelayanan publik tidak terganggu. Perusahaan swasta juga “di dorong” dalam bahasa halusnya untuk menyesuaikan sistem kerja mereka demi mendukung kebijakan ini.
Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di timeclock.id
Para pengamat ketenagakerjaan menilai bahwa langkah ini bisa memicu ketidakseimbangan produktivitas jika tidak di awasi ketat. “Yang satu libur, yang lain kerja. Lalu, siapa yang akan menanggung beban operasional yang timpang?” ujar M. Yusuf, seorang konsultan SDM dari Jakarta.
Sentimen Masyarakat: Terbelah Antara Kagum dan Bingung
Di media sosial, kebijakan ini langsung menjadi trending topic. Tagar #JumatCuti dan #PrabowoLiburkanJumat mendominasi linimasa Twitter dan Instagram. Sebagian netizen dari kalangan pekerja menyambutnya dengan euforia. Bagi mereka, ini adalah angin segar setelah bertahun-tahun berkutat dalam rutinitas kerja yang monoton.
Namun, tidak sedikit pula yang mengeluh. Para pelaku UMKM hingga pemilik usaha ritel mengaku resah. “Kalau karyawan saya minta cuti Jumat semua, saya harus tutup toko? Siapa yang tanggung kerugian saya?” ujar Siti Rohani, pemilik kedai sembako di Yogyakarta.
Kelompok pengusaha besar juga angkat bicara. Dalam sebuah pernyataan resmi, Kadin menyatakan akan mengevaluasi dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap stabilitas ekonomi sektor riil. Mereka menyoroti potensi kerugian dari “long weekend” yang di buat-buat dan tidak merata penerapannya.
Alasan di Balik Hari Jumat: Simbol Religi atau Manuver Politik?
Langkah Prabowo menempatkan hari Jumat sebagai hari istimewa tentu bukan tanpa alasan. Hari Jumat di kenal sebagai hari besar dalam ajaran Islam agama mayoritas di Indonesia. Namun, pengamat politik menilai ada nuansa simbolik yang lebih dalam.
“Prabowo ingin merebut kembali simpati kelompok konservatif religius yang sempat ragu terhadap arah kebijakan awal pemerintahannya,” ujar Faisal Hanan, dosen politik Universitas Indonesia. “Memilih hari Jumat bukan sekadar strategi manajemen waktu kerja. Ini sinyal politik yang sangat tajam.”
Apalagi kebijakan ini di keluarkan di tengah menurunnya kepuasan publik terhadap beberapa keputusan ekonomi pemerintahan Prabowo. Banyak yang melihat ini sebagai taktik pengalihan isu atau bahkan awal dari paket kebijakan populis lainnya yang akan menyusul.
Dampak Terhadap Dunia Kerja: Eksperimen Sosial Berskala Nasional?
Jika berhasil di terapkan secara merata, kebijakan ini bisa menciptakan model baru dunia kerja Indonesia: lebih fleksibel, lebih manusiawi, tapi juga lebih kompleks. Ini bisa menjadi preseden kebijakan kerja berbasis “nilai” dan bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Namun, banyak yang mempertanyakan kesiapan birokrasi dan sistem manajemen SDM nasional untuk mengelola kebijakan sebesar ini. Belum ada simulasi jelas tentang dampaknya terhadap sektor pendidikan, layanan publik, atau bahkan lalu lintas perkotaan.
Sebagian ahli menyebut ini sebagai “eksperimen sosial berskala nasional” yang penuh risiko. “Kita sedang bermain-main dengan keseimbangan sistem kerja yang sudah rapuh sejak pandemi,” ujar Anita Wulandari, pakar kebijakan publik dari Surabaya.
Penutup Tanpa Kesimpulan
Tanpa mengakhiri polemik, kebijakan ini kini menjadi bola panas di tengah masyarakat. Antara keinginan untuk hidup lebih seimbang dan ketakutan akan produktivitas yang menurun, Indonesia tengah menyaksikan salah satu manuver kebijakan paling berani dari seorang Presiden yang tidak pernah berhenti mencuri perhatian.